STUDI ISLAM INTERDISIPLINER di era
millenial
Oleh : Yusuf
A.
Pendahuluan
Islam merupakan agama yang diturunkan di dunia
ini dengan tujuan untuk mengubah akhlak – akhlak masyarakat pada masa itu,yakni
masyarakat jahiliah yang sikap dan perbuatannya sangat tidak bisa diterima oleh
akal pikiran. Agama islam turun dan disampaikan oleh nabi Muhammad SAW untuk
disampaikan kepada umat seluruh manusia. islam pada masa rosulullah hampir
tidak ada perdebatan – perdebatan tentang pengkajian islam, hal tersebut dikarenakan
problematikan yang berkembang pada masa itu langsung bisa terselesaikan dengan
adanya wahyu ataupun hadits dari Nabi Muhammad SAW yang membawa al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ketika nabi telah wafat mulailah adanya permasalahan – permasalahan yang timbul
dalam menentukan hukum – hukum islam yang semakin kompleks dan berkembang dari
masa ke masa.
Islam hadir sebagai pedoman hidup yang
menyajikan keluasan materi dan kedalaman ajaran, juga sebagai rahmatan lil alamin, maka diharapkan
mampu memberikan kontribusi bagi pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dalam
kehidupan umat manusia. Namun demikian sayangnya pendekatan konvensional yang
bersifat subjektif, apologi, dan doktriner tanpa disadari telah mempengaruhi
kemampuannya dalam menjawab perkembangan zaman kekinian (kontermporer).
Kemampuan tersebut tidak secara merata dapat disumbangkan oleh berbagai bidang
dan disiplin ilmu keislaman.[1]
B.
Pengertian
Studi Islam
Studi Islam mulai
muncul pada abad ke-9 di Irak, ketika ilmu-ilmu agama Islam mulai memperoleh
bentuknya dan berkembang didalam sekolah-sekolah hingga terbentuknya
tradisiliterer dikawasan Arab masa pertengahan. Studi Islam bukan hanya
berjalan didalam peradaban Islam itu sendiri bahkan juga menjadi fokus diskusi dinegara-negara
Barat.[2]
Bahkan, sebelum
kemunculan Islam pada abad ke-7, orang-orang Arab sudah dikenal oleh bangsa
Israel dan Yunani Kuno serta para pendiri gereja. Pandangan orang-orang Eropa
tentang Islam sepanjang masa pertengahan diambil dari konstruk Injili dan
teologis. Mitologi, teologi, dan missionarisme menyediakan formulasi utama
tentang apa yang diketahui gereja mengenai muslim sekaligus alasan-asalan bagi perkembangan
wacana resmi tentang Islam.
Kata Studi Islam secara
Etimologi (bahasa) merupakan gabungan dari dua kata yaitu Studi dan Islam. Dan
kata studi sendiri memiliki banyak makna, diantaranya Studi berasal dari bahasa
Inggris yaitu Study, yang berarti mempelajari atau mengkaji. Dan menurut Lester
Crow dan Alice Crow menyebutkan bahwa studi adalah kegiatan yang secara sengaja
diusahakan dengan maksud untuk memperoleh keterangan, mencapai pemahaman yang
lebih besar atau meningkatkan suatu keterampilan. Kemudian menurut Muhammad
Hatta Studi adalah mempelajari sesuatu untuk mengerti kedudukan masalahnya,
mencari pengetahuan tentang sesuatu dalam hubungan sebab akibatnya, ditinjau
dari jurusan tertentu dan dengan metode tertentu pula. Sedangkan Islam berasal
dari bahasa Arab, yaitu kata salima dan aslama. Salima mengandung arti selamat,
tunduk, dan berserah. Sedangkan aslama juga mengandung arti kepatuhan,
ketundukan, dan berserah. Yang disebut dengan muslim adalah orang yang tunduk,
patuh, dan berserah diri sepenuhnya kepada ajaran Islam dan akan selamat dunia
dan akhirat.[3]
Studi
islam secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal
yangberkaitan dengan agama islam. Dengan kata lain studi islam adalah usaha
sadar dan sistmatis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara
mendalam seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama islam, baik
ajaran, sejarah, maupun praktik-praktik pelaksaannya secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari sepanjang sejarahnya.[4]
Studi
Islam adalah salah satu studi yang mendapat perhatian di kalangan ilmuwan.Jika
ditelusuri secara mendalam, Nampak bahwa studi Islam mulai banyak dikaji oleh
para peminat studi agama dan studi-studi lainnya.Dengan demikian, studi Islam
layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmufavorit.Artinya, studi
Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.[5]Pengertian
Studi Islam menurut Muhammad Nur Hakimkegunaan istilah Studi Islam bertujuan
untuk mengungkapkan beberapamaksud, yaitu :
1. Studi
Islam yang dikonotasikan dengan aktivitas-aktivitas dan program- program
pengkajian dan penelitian terhadap agama sebagai objeknya.
2. Studi
Islam yang dikonotasikan dengan materi, subjek, bidang, dankurikulum atas semua
kajian Islam.
3. Studi
Islam yang dikonotasikan dengan institusi-institusi pengkajianIslam, baik
dilakukan secara formal seperti perguruan tinggi, maupunyang non formal seperti
forum-forum kajian dan halaqoh-halaqoh.[6]
Istilah
“Islamic Studies” atau Studi Islam kini telah dipergunakan
dalam jurnal-jurnal profesional, departemen akademik, dan lembaga-lembaga
perguruan tinggi yang mencakup bidang pengkajian dan penelitian yang luas,
yakni seluruh yang memiliki dimensi “Islam” dan keterkaitan dengannya. Rujukan
pada Islam, apakah dalam pengertian kebudayaan, peradaban, atau tradisi
keagamaan, telah semakin sering dipakai dengan munculnya sejumlah besar
literatur dalam berbagai bahasa Eropa atau Barat pada umumnya yang berkenaan
dengan paham Islam politik, atau Islamisme.
Menurut definisi ini, Islamic Studies
mengimplikasikan: Pertama, studi tentang disiplin dan tradisi
intelektual-keagamaan klasik menjadi inti dari Islamic Studies, karena ada di
jantung kebudayaan yang dipelajari dalam peradaban Islam dan agama Islam, dan
karena banyak Muslim terpelajar masih memandangnya sebagai persoalan penting.
Pengertian Islamic Studies sebagai studi tentang teks-teks Arab pra-modern
utamanya karena itu mesti dipertahankan.Keterampilan utama yang dibutuhkan
adalah bahasa Arab.
Kedua, Islamic
Studies adalah suatu
bidang yang sempit. Upaya-upaya untuk
memperluas bidang kajiannya
dapat mengakibatkan berkurangnya
kualitas kajian. Namun demikian bidang ini terus menghadapi tekanan komersial
untuk memperluas ruang lingkupnya, dengan memasukkan misalnya, studi tentang
pengobatan dan keuangan Islam.
Ketiga, pendidikan berbasis keimanan bagi
Muslim mengenai Islam, dan studi lintas disiplin tentang Islam yang bersandar
kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, keduanya memberikan tujuan
yang bermanfaat. Namun, Islamic Studies bagaimanapun berbeda dari keduanya dan
jangan dipertipis garis batasnya.Yang diharapkan ialah upaya memperkaya dua
bidang lainnya.Minat ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial terhadap Islam
memang dapat dibenarkan, namun jangan dipaksa untuk diistilahkan sebagai
Islamic Studies.
Pendekatan kedua mendefinisikan Islamic
Studies berdasarkan pada pernyataan bahwa Islam perlu dikaji dalam konteks evolusi
Islam modern yang penuh teka-teki. Juga adanya kebutuhan untuk memahami apa
yang dimaksudkan oleh teks-teks tentang cara orang-orang mengalami dan
menjalankan kehidupan mereka. Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin, namun
ia lebih merupakan ke saling hubungan antara beberapa disiplin. Dalam bahasa
metodologi, para peneliti meminjam serangkaian disiplin termasuk ilmu-ilmu sosial.Kurang
tegasnya batasan-batasan ini justru menyediakan peluang untuk memperkaya studi
interdisipliner yang beragam.[7]
Oleh
karenanya, dibutuhkan suatu pendekatan yang dapat mencakup studi Islam. Pendekatan
interdisipliner (interdisciplinary approach) ialah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah
dengan menggunakan tinjauan berbagai
sudut pandang ilmu serumpun yang relevan secara terpadu. Ilmu yang relevan
maksudnya ilmu-ilmu yang cocok digunakan dalam pemecahansuatu masalah. Adapun
istilah terpadu, yang dimaksud yaitu ilmu-ilmu yang digunakan dalam pemecahan
suatu masalah melalui pendekatan ini terjalin satu sama lain secara
tersirat(implicit)merupakan suatu kebulatan atau kesatuan pembahasan atau uraian
termasuk dalam setiap sub-sub uraiannya. Ciri pokok atau kata kunci dari
pendekatan indisipliner ini adalah inter(terpadu antar ilmu dalam rumpun ilmu
yang sama).[8]
C.
Pengertian Pendekatan Interdisipliner
Pengertian pendekatan interdisipliner dapat dijelaskan secara
ringkas berikut. Ada dua mazhab dalam mendefinisikan Pendekatan
Interdisipliner. Pertama, pendekatan dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut
pandang ilmu serumpun yang relevan atau tepat guna secara terpadu dalam
pemecahan suatu masalah. Maka kata kuncinya adalah ilmu serumpun. Ilmu serumpun
juga banyak versinya. Misalnya rumpun Ilmu Agama, rumpun Ilmu Sosial-Humaniora,
rumpun Ilmu Pasti. Rumpun ini dapat juga lebih rinci menjadi rumpun Ilmu Hukum,
rumpun Ilmu Sosial, rumpun Ilmu Ilmu Jiwa dan semacanya. Dengan batasan ilmu
serumpun dengan demikian sangat relative batasannya, dan mestinya sah saja.
Kedua, interdisipliner berarti kerjasama antar satu ilmu dengan
ilmu lain sehingga merupakan satu kesatuan dengan metode tersendiri. Boleh
juga dikatakan integrasi antara satu ilmu dengan ilmu lain, sehingga membentuk
satu ilmu baru, dengan metode baru. Misalnya perpaduan antara psikologi dan
social menjadi psikologi-sosial, perpaduan sosiologi dan agama menjadi
sosiologi agama, demikian seterusnya dengan ilmu-ilmu lain.[9]
Dalam hal ini pendekatan interdisipliner
yang dimaksud adalah kajian dengan
menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam sebuah studi
misalnya menggunakan pendektan sosiologis, historis dan normatif secara bersamaan.
Penggunaan pendekatan ini semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil
penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam
mengkaji teks agama, seperti Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak cukup hanya
mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan
sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan
pendekatan hermeneutic.[10]
Islamic Studies berdasarkan pada
pernyataan bahwa Islam perlu dikaji dalam konteks evolusi Islam modern yang penuh
teka-teki. Juga adanya kebutuhan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh
teks-teks tentang cara orang-orang mengalami dan menjalankan kehidupan mereka. Islamic
Studies bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih merupakan ke saling hubungan
antara beberapa disiplin. Dalam bahasa metodologi, para peneliti meminjam
serangkaian disiplin termasuk ilmu-ilmu sosial.Kurang tegasnya batasan-batasan
ini justru menyediakan peluang untuk memperkaya studi interdisipliner yang
beragam.[11]
D. Pendekatan
Interdisipliner dalam Studi Islam
Pendekatan
interdisipliner yang dimaksud disini adalah kajian dengan menggunakan sejumlah
pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi misalnya menggunakan
pendekatan sosiologis, historis dan normatif secara bersamaan. Pentingnya
penggunaan pendekatan ini semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil
penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam
mengkaji teks agama, seperti Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak cukup hanya
mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan
sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan
pendekatan hermeneutik misalnya.
Dari
kupasan diatas melahirkan beberapa catatan. Pertama perkembangan pembidangan
studi islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Kedua, adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan
tertentu dimaksudkan agar mampu memahami ajaran Islam lebih lengkap
(komprehensif) sesuai dengan kebutuhan tuntutan yang semakin lengkap dan
kompleks. Ketiga, perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan
seharusnya memang terjadi, kalau tidak menjadi pertanda agama semakin tidak
mendapat perhatian[12].
Contoh dalam penggunaan pendekatan interdisipliner adalah dalam menjawab status
hukum aborsi. Untuk melihat status hukum aborsi perlu dilacak nash Al Qur’an
dan sunnah Nabi. Tentang larangan pembunuhan anak dan proses atau tahap
penciptaan manusia dihubungkan dengan teori embriologi. Sebagai tambahan
Leonard Binder secara implisit menawarkan beberapa pendekatan studi islam,
yakni:
1. Sejarah
(history)
2. Antropologi
(anthropology)
3. Sastra
islam dan arkeologi (islamic art and archeology)
4. Ilmu
politik (political science)
5. Filsafat
(philosophy)
6. Linguistik
7. Sastra
(literature)
8. Sosiology
(sociology)
9. Ekonomi
(economics)
Dari
pembahasan ringkas tentang pendekatan yang dapat digunakan dalam studi islam
ada beberapa catatan. Pertama, sejumlah teori memang sudah digunakan sejak lama
oleh para ilmuan klasik, meskipun teori-teori tersebut mengalami perkembangan.
Kedua, ada beberapa teori yang mendapat penekanan pada beberapa dekade terakhir[13]
E. Beberapa
Pendekatan Interdisipliner
1. Pendekatan
Filsafat
a. Pengertian
Pendekatan Filsafat
Filsafat berasal dari
kata philo yang berarti cinta dan kata shopos yang berarti ilmu
atau hikmah, secara etimologi filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Menurut istilah (terminologi) filsafat islam adalah cinta terhadap hikmah dan
berusaha mendapatkan falsafah dan menciptakan sikap positif terhadap falsafah
islam. Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi berikut[14]:
1) Segi
Semantik : filsafat berasal dari bahasa arab yaitu falsafah. Dari bahasa Yunani
yaitu philosophia yaitu pengetahuan hikmah (wisdom). Jadi philosophia berarti
cinta pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebenaran. Maksudnya adalah orang
menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya dan mengabdikan dirinya kepada
pengetahuan.
2) Segi
Praktis : filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu berpikir. Orang
yang berpikir tentang filsafat disebut filosof. Yaitu orang yang memikirkan
hakikat segala sesuatu dengan sesuatu dengan sungguh-sungguh di dalam tugasnya
filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan sesuatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Jadi, filsafat adalah ilmu yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
b. Ruang
Lingkup Filsafat
Filsafat merupakan
induk dari segala ilmu yang terdiri dari gabungan ilmu-ilmu khusus[15].
Dalam perkembangan ilmu-ilmu khusus satu demi satu memisahkan diri dari
induknya yakni filsafat. Ruang lingkup filsafat berdasarkan struktur
pengetahuan yang berkembang datap dibagi menjadi tiga bidang, sebagai berikut:
1) Filsafat
sistematis terdiri dari:
a) Metafisika
b) Epistemologi
c) Metodologi
d) Logika
e) Etika
f) Estetika
2) Filsafat
khusus terdiri dari:
a) Filsafat
seni
b) Filsafat
kebudayaan
c) Filsafat
pendidikan
d) Filsafat
bahasa
e) Filsafat
sejarah
f) Filsafat
budi pekerti
g) Filsafat
politik
h) Filsafat
agama
i)
Filsafat kehidupan
j)
Filsafat nilai
3) Filsafat
keilmuan terdiri dari:
a) Filsafat
ilmu-statistik
b) Filsafat
psikologi
c) Filsafat
ilmu-ilmu sosial.
Dalam
studi filsafat untuk memahami secara baik paling tidak kita harus mempelajari
lima bidang politik, yaitu:
1) Metafisika
2) Epistimologi
3) Logika
4) Etika
5) Sejarah
filsafat
c. Dasar
Pendekatan Filsafat Pendidikan
Islam
pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi,
tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Sumber ajaran-ajaran yang
mengambil berbagai aspek itu adalah alquran dan hadis. Dalam kaitan ini
diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat Islam yang tidak menekankan
pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami proses
dialektik. Filsafat Islam sendiri keberadaanya menimbulkan pro dan kontra.
Sebagian yang berpikian maju dan bersifat liberal cenderung mau menerima
pemikiran filsafat Islam. Bagi mereka yang berpikiran tradisional kurang mau
menerima filsafat.
Islam
menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran filsafat, itulah yang disebut
filsafat Islam bukan karena orang yang melakukan kefilsafatan itu orang muslim,
tetapi dari segi obyek membahas mengenai keislaman. Perkembangan filsafat Islam
pada prinsipnya mampu bersainh dengan filsafat Barat. Dari kedua filsafat ini
ditambah dengan kajian Yahudi, amaka tersususnlah sejarah pembahasan teoritis
filsafat Islam dengan filsafat klasik, pada pertengahan dan modern. Hubungan
filsafat Yunani dengan filsafat Islam sebagai berikut:
1) Pemikiran
filsafat Islam telah dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
2) Para
filsuf muslim mengambil sebagian besar pandangannya Aristoteles.
3) Filsuf
muslim banyak mengagumi Plato dan mengikutinya pada berbagai aspek.
Hubungan
filsafat Islam dengan filsafat modern, secara khusus terdapat berbagai usaha
yang ditujukan untuk menemukan hubungan antara keduanya, baik sumber maupun
pengantar-pengantar filsafat modern. Batasannya yaitu terdapat pola titik
persamaan dalam pandangan dan pemikiran. Filsafat Islam juga dikatakan sebagai
ilmu karena di dalamnya terkandung pertanyaan ilmiah, yaitu bagaimanakah,
mengapakah, dan apakah, jawaban atas pertanyaan itu sebagai berikut:
1) Pengetahuan
yang timbul dari pedoman yang selalu berulang-ulang.
2) Pengetahuan
yang timbul dari pedoman yang terkandung dalam adat istiadat yang berlaju dalam
masyarakat.
3) Pengetahuan
yang timbul dari pedoman yang dipakai suatu hal dijadikan pegangan.
d. Konsep
Filsafat Islam
1) Konsep
Ar-Razi
Abu Bakar Muhammad Ibn
Zakaria Al-Razi lahir di Rai kota dekat Teheran pada tahun 862 M. Falsafahnya
terkenal dengan Lima yang Kekal[16]:
a) Materi:
merupakan apa yang ditangkap panca indra tentang benda itu.
b) Ruang
: karna materi mengambil tempat.
c) Zaman
: karena materi berubah-ubah keadaanya.
d) Adanya
roh.
e) Adanya
pencipta.
2) Konsep
Al Farabi
Abu Ali Husin Ibn Sina
lahir di Asyfana 980 M., di dekat Bukhara. Terkenal dengan:
a) Falsafah
Jiwa
b) Falsafah
Wahyu dan Nabi
c) Falsafah
Wujud
d) Falsafah
Al Kindi
Ya’kub Ibn Ishaq Al
Kindi berasal dari Kindah di Yaman, tahun 796 M, terletak dengan:
1) Falsafah
Ketuhanan
2) Falsafah
Jiwa
1. Pendekatan
Sosiologi
a. Pengertian
pendidikan dengan pendekatan sosiologi
Sosiologi
adalah ilmu tentang kemasyarakatan, ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang
berhubungan dengan masyarakat. Sosiologi didefinisikan secara luas sebagai bidang
penelitian yang tujuannya meningkatkan pengetahuan melalui pengamatan dasar
manusia, dan pola organisasi serta hukumnya. Sosiologi dapat juga diartikan
sebagai suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Selanjutnya sosiologi digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam studi Islam
yang mencoba untuk memahami islam dari aspek sosial yang berkembang
dimasyarakat, sehingga pendidikan dengan pendekatan sosiologis dapat diartikan
sebagai sebuah studi yang memanfaatkan sosiologi untuk menjelaskan konsep
pendidikan dan memecahkan berbagai problema yang dihadapinya.
Pendidikan
menurut pendekatan sosiologi ini dipandang sebagai salah satu konstruksi sosial
atau diciptakan oleh interaksi sosial. Pendekatan sosiologi dalam praktiknya,
bukan saja digunakan dalam memahami masalah-masalah pendidikan, melainkan juga
dalam memahami bidang lainnya, seperti agama sehingga muncullah stdi tentang
sosiologi agama[17].
b. Agama
dalam pendekatan sosiologi
Salah
satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang
tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah
bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa
sosiologi membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan
fokus studi dan kemudaian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek
tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan
metode yang berlainan. Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, maka
agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, mislnya agama merupakan perluasan
dari nilai-niali sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu
berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol dan masih
banak lagi teori lainnya. Pada intinya pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan
aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial. Tampak jelas
bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena
agama.
c. Agama
adalah pendekatan fungsional-sosiologi
Teori
fungsional memandang agama dalam kaitan dengan aspek pengalaman yang
mentransendensikan sejumlah peristiwa eksistesi sehari-hari, yaki melibatkan
kepercayaan dan tanggapan terhadap sesuatu yang berada diluar jangkauan
manusia. Oleh karena itu secara sosiologis agama menjadi penting dalam
kehidupan manusia dimana pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan
sarana adaptasi atau mekanisme penyesuaian yang dibutuhkan. Dari sudut pandangan
teori fungsional, agama menjadi atau penting sehubungan dengan unsur-unsur
pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakpastian,
ketidakberdayaan dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental
kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama adalah menyediakan dua hal yaitu:
1) Suatu
cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia.
2) Sarana
ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya yang
memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya.
Dari sini kita dapat
menyebutkan fungsi agama, antara lain:
1) Agama
mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang diluar jangkauan manusia yang
melibatkan takdir dan kesejahteraan, dan terhadap manusia memberikan tanggapan
serta menghubungkan dirinya menyediakan bagi pemeluknya suatu dukungan dan
pelipur lara.
2) Agama
menawarkan hubungan transendetal melalui pemujaan pada upacara ibadat.
3) Agama
mensucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk,
mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas keinginan individu dan disiplin
kelompok diatas dorongan individu.
4) Agama
melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting.
5) Agama
bersangkut paut pula dengan pertumbuhan dan kedewasaan individu dan perjalanan
hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.
Jadi menurut teori
fungsional, agama mengidentifikasi individu dengan kelompok, menolong individu
dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitkannya dengan
tujuan-tujuan masyarkat, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur
identitas. Seperti halnya teori sosiologi tentang agama, teori fungsional juga
berusaha membangun sikap bebas nilai. Teori ini tidak menilai kebenaran
tertinggi atau kepalsuan kepercayaan beragama. Sebagaimana semua sosiologi,
teori ini juga menggunakan apa yang disebut pendekatan “naturalistis” pada
agama. Sebagai ilmu sosial, sosiologi berusaha memahami perilaku diri sebab akibat
yang alamiah. Ini bukan merupakan posisi ideologi yang anti agama, sebab jika
penyebab itu diluar alam, bila mereka bertindak terhadap manusia harus juga
melalui manusia dan hakikat manusia.
2. Pendekatan
Sejarah
a. Pengertian
pendekatan sejarah
Dalam bahasa Arab, kata
sejarah disebut tarikh yang secara harfiah berarti ketentuan waktu, dan secara
istilah berarti keterangan yang telah terjadi pada masa lampau / masa yang
masih ada. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah merupakan terjemahan dari kata
histori yang secara harfiah diartikan the past experience of mankind, yakni
pengalaman umat manusia di masa lampau[18].
b. Studi
Islam dengan Pendekatan Sejarah
Melalui pendekatan
sejarah ditemukan informasi sebagai berikut:
1) Sejak
kedatangan Islam, umat Islam tergerak hati, pikiran dan perasaannya untuk
memberikan perhatiannya yang besar terhadap penyelenggaraan pendidikan.
2) Model
lembaga pendidikan Islam yang diadakan oleh umat Islam adalah model lembaga
pendidikan informal, non formal dan formal.
3) Lembaga
pendidikan yang dibangun umat Islam bersifat dinamis, kratif, inovatif,
fleksibel dan terbuka untuk dilakukan perubahan dari waktu ke waktu.
4) Melalui
pendekatan sejarah, diketahui bahwa di kalangan umat Islam telah terdapat
sejumlah ulama yang memiliki perhatian untuk berkiprah dalam bidang pendidikan.
5) Melalui
pendekatan sejarah, dapat diketahui tentang kehidupan para guru dan pelajar.
6) Melalui
pendekatan sejarah, dapat diketahui tentang adanya sistem pengaturan atau
manajemen pendidikan, pendanaan atau pembiayaan pendidikan, mulai dari yang
sederhana sampai dengan yang canggih.
Melalui
pendekatan sejarah, dapat diketahui tentang adanya kurikulum yang diterapkan di
berbagai lembaga pendidikan yang disesuaikan dengan visi, misi, tujuan dan
ideologi keagamaan yang dimiliki oleh tokoh pendiri atau masyarakat yang
menyelenggarakan kegiatan pendidikan tersebut.
F. Studi
Islam Interdisipliner di Indonesia
Dari kupasan diatas
melahirkan beberapa catatan. Pertama, perkembangan pembidangan studi islam dan
pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Kedua,
adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan tetentu dimaksudkan agar mampu
memahami ajaran islam lebih lengkap (komprehensif) sesuai dengan kebutuhan
tuntutan yag semakin lengkap dan komplek. Ketiga, perkembangan tersebut adalah
satu hal yang wajar dan seharusnya memang terjadi, kalau tidak menjadi pertanda
agama semakin tidak mendapat perhatian.
Upaya ke arah untuk mengkaji
studi Islam interdisipliner mendapat respon yang sangat positif. Ini terbukti
pada bulan agustus 1973, tepatnya di daerah Ciumbeliut, Bandung, diadakan
pertemuan rector seluruh Indonesia. Dalam pertemuan itu, Rektor IAIN Syarif
Hidayatullah, yang ketika itu dijabat oleh Prof. Dr. Harun Nasution,
mengusulkan perlunya modernisasi kurikulum melalui pengembangan wilayah kajian
studi Islam dan pentingnya memasukkan pendekatan-pendekatan baru dalam studi
Islam, seperti pengantar ilmu agama, filsafat, teologi, sosiologi, dan
metodologi riset.
Usulan demikian, meskipun pada awalnya mendapat perlawanan dari
kalangan Rektor Tua, seperti H.Ismail Ya‟kub dan KH. Bafadal, namun karena ide
tersebut didukung oleh kalangan birokrasi pemerintahan, seperti Mulyanto
Supardi, yang ketika itu menjabat Direktur Jenderal Perguruan Tinggi Islam, dan
Zarkawi Suyuti, yang ketika itu sebagai Sekretaris Dirjen Bimas Islam, pada
akhirnya usulan untuk memasukkan pendekatan-pendekatan baru dalam studi Islam
diterima.[19]
G. Studi
Islam Interdisipliner di Era Millenial
Era millennial dimulai pada tahun 1980 an sebagai awal kelahiran
kelompok ini dan pertengahan tahun 1990 an hingga awal 2000 an sebagai akhir kelahiran.[20]
Sedangkan menurut Google translate
Millenial diartikan seribu tahun. Namun jika diartikan sebagai kata benda
(Noun) menjadi a person reaching young adulthood around
the year 2000, a generation yer (orang yang berkembang
pada tahun 2000 an).
Dinamika
pemikiran yang berkembang dalam kehidupan masyarakat menjadi suatu bukti
autentik bahwa kehidupan ini berjalan ibarat roda. Tidak ada suatu pemikiran
pun yang berjalan dalam stagnasi eksistensinya. Pemikiran Yunani kuno dan
klasik yang telah menghiasi kehidupan masyarakat serta pernah menjadi the great
miracle dalam khazanah pemikiran manusia pada akhirnya beralih menjadi
kehidupan lain yang mengikutinya. Dunia modern yang melanjutkan era pemikiran
abad pertengahan dengan panutan pemikirannya pada Ancilla Theologia minat
utama kepada agama dengan jargon Extra Ecclesia Nula Saluum tidak ada kebenaran
hakiki kecuali kebenaran gereja melaju dengan asas pemikiran antroposentris.[21]
Laju modernisme yang begitu pesat dan hadirnya
globalisasi sebagai dampak dari eksistensinya membuka pintu baru ijtihad berpikir masyarakat. Dilema
modernisme dengan grand concept (konsep besar) yang bermunculan dan dihasilkan
menggiring masyarakat ke dalam kondisi yang jauh dari nilai-nilai metafisis. Kemaha
agungan filsafat kemudian dipertanyakan sehingga memunculkan banyak pemikir
baru yang mengusulkan postmodernisme dalam menangkal dunia modern yang semakin “jauh” dari sumbu-sumbu spiritualitas. Derrida
mengemukakan perlunya dekonstruksi terhadap pemikiran-pemikiran modern
dalam rangka membangun autentisitas ilmu. Kuhn menyampaikan pentingnya revolusi
ilmiah. Semua yang kemudian dimunculkan dalam rangka mencipta benang dialektika
di antara semua disiplin ilmu yang berkembang.
Pada saat ini generasi
millenial lebih memilih ponsel dibanding TV, sebab generasi ini lahir di era
kecanggihan teknologi, dan internet berperan besar dalam keberlangsungan hidup
mereka, maka televisi bukanlah prioritas generasi millenial untuk mendapatkan
informasi atau melihat iklan yang tidak ada pentingnya. Generasi millenial
lebih suka mendapatkan informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke Google
atau perbincangan pada forum-forum, yang
diikuti generasi ini untuk selalu up-to-date dengan keadaan sekitar. Jika
dihadapkan pada sebuah pilihan, mayoritas generasi sekarang akan lebih memilih
ponsel daripada TV. hampir semua kalangan, informasi berkembang dengan pesat
danpenyebarannya semakin cepat. Berdasarkan penelitian bahwa mayoritasmillennial
mendapatkan berita bersumber dari media sosial seperti facebookdan twitter
(dikutip dari How Millennials, 2015), dimana kredibilitassumber berita sangat
sulit untuk diukur. Penelitian menunjukkan bahwagenerasi millennial cenderung
malas untuk memvalidasi kebenaran beritayang mereka terima dan cenderung
menerima informasi hanya dari satusumber, yaitu media sosial (Ellysabeth Ratih
Dwi Hapsari W), inilahkondisi peserta didik saat ini, yang lebih memanfaatkan
dan percaya denganmedia sosial dalam kegiatannya sehari-hari.[22]
Masalah ilmu-ilmu apa yang dianjurkan
dalam Islam, merupakan pokok penting yang mendasar sejak hari-hari
pertama Islam: apakah ada bentuk ilmu khusus yang harus dicari? Sebagian ulama
besar Islam hanya memasukkan cabang-cabang ilmu yang secara langsung
berhubungan dengan agama. Sedangkan tipe-tipe ilmu yang lain, mereka
menyerahkan kepada masyarakat untuk menentukan ilmu mana yang paling esensial
untuk memelihara dan menyejahterakan mereka.[23] Perintah
al Quran dan syariah tertentu. Tetapi juga mencakup setiap ilmu yang berguna
bagi manusia. Karenanya, seiring perkembangan yang ada, disiplin ilmu juga
turut berkembang untuk dikaji.
Studi tentang generasi millenial,
terutama di Amerika, sudah banyakdilakukan, antara lain studi yang dilakukan
oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011
dengan mengambil temaAmerican Millennials: Deciphering the Enigma Generation.
Tahun sebelumnya, 2010, Pew Research Center juga merilis laporan riset dengan judul
Millennials: A Portrait of Generation Next. Berdasarkan penelitian-penelitianitu,
inilah karakteristik generasi millenial tersebut;
Pertama, Millennial lebih percaya User
Generated Content (UGC)daripada informasi searah.Bisa dibilang millennial tidak
percaya lagikepada distribusi informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih
percaya kepada UGC atau konten dan informasi yang dibuat oleh perorangan.Mereka
tidak terlalu percaya pada perusahaan besar dan iklan sebab lebih mementingkan
pengalaman pribadi ketimbang iklan atau reviewkonvensional. Dalam hal pola
konsumsi, banyak dari mereka memutuskan untuk membeli produk setelah melihat
review atau testimoni yang dilakukanoleh orang lain di Internet. Mereka juga
tak segan-segan membagikanpengalaman buruk mereka terhadap suatu mereka.
Kedua, Millennial lebih memilih ponsel
dibanding TV. Generasi ini lahir di era perkembangan teknologi, Internet juga
berperan besar dalam keberlangsungan hidup mereka. Maka televisi bukanlah
prioritas generasi millennial untuk mendapatkan informasi atau melihat iklan.
Bagi kaum millennial, iklan pada televisi biasanya dihindari. Generasi
millennial lebihsuka mendapat informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke
Googleatau perbincangan pada forum-forum yang mereka ikuti, supaya tetap
up-todate.
Ketiga, Millennial wajib punya media
sosial.Komunikasi di antaragenerasi millennial sangatlah lancar. Namun, bukan
berarti komunikasi itu selalu terjadi dengan tatap muka, tapi justru
sebaliknya. Banyak dari kalanganmillennial melakukan semua komunikasinya
melalui text messaging ataujuga chatting di dunia maya, dengan membuat akun
yang berisikan profildirinya, seperti Twitter, Facebook, hingga Line. Akun
media sosial jugadapat dijadikan tempat untuk aktualisasi diri dan ekspresi,
karena apa yangditulis tentang dirinya adalah apa yang akan semua orang baca.
Jadi, hamper semua generasi millennial dipastikan memiliki akun media sosial
sebagaitempat berkomunikasi dan berekspresi.[24]
Dalam melihat hubungan manusia
dengan ruang dan waktu, ciri generasi millennial dalam berkomunikasi bersifat
Instant Communicationdi lingkungan real time, Network Development, yaitu
mengembangkan jaringan yang memungkinkan
generasi ini untuk terhubung satu sama lain untuk berkoneksi dan kolaborasi.
Terkait dengan prinsip dasar hubungan manusia dengan alam, mempunyai prinsip
pemanfaatan dan sekaligus pelestarian
lingkungan alam. Manusia harus menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan untuk digunakan dalam
pemanfaatan, pengelolaan, kelestarian sekaligus bagi keselarasan, harmoni dan
penguasaan alam demi kemanfaatan umat manusia dan alam sekitarnya. Sementara
itu, dalam melihat hubungan manusia dengan sesama manusia, lebih terbuka
terhadap berbagai akses informasi yang
bersifat lintas batas, cenderung lebih
permisif terhadap keanekaragaman. Mereka tidak peduli tentang privasi
dan bersedia untuk berbagi rincian intim tentang diri mereka sendiri dengan
orang asing. Budaya membuat status merupakan aktivitas sehari-hari. Cyberculture
adalah sebuah kebudayaan baru di mana seluruh aktivitas kebudayaannya dilakukan
dalam dunia maya yang tanpa batas. Namun demikian generasi millennial tetap
berpandangan bahwa keluarga merupakan pilar yang sangat penting bagi
kehidupannya.[25]
H.
PENUTUP
Di beberapa papapran diatas dapat diketahui bahwasanya studi
islam merupakan usaha untuk mempelajari hal-hal
yangberkaitan dengan agama islam. Dengan kata lain studi islam adalah usaha
sadar dan sistmatis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara
mendalam seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama islam, baik
ajaran, sejarah, maupun praktik-praktik pelaksaannya secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari sepanjang sejarahnya.
Diera moderan atau
lebih dikenal dengan era milenial laju modernisme yang begitu pesat dan hadirnya
globalisasi sebagai dampak dari eksistensinya membuka pintu baru ijtihad berpikir masyarakat. Dilema
modernisme dengan grand concept (konsep besar) yang bermunculan dan dihasilkan
menggiring masyarakat ke dalam kondisi yang jauh dari nilai-nilai metafisis,
pada masa ini studi islam juga hendanya dapat menyesuaikan perkembangan dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan yang dianggap cocok pada masa ini, semisal
dengan pendekatan interdisipliner.
Pendekatan
interdisipliner yang dimaksud disini adalah kajian dengan menggunakan sejumlah
pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi misalnya menggunakan
pendekatan sosiologis, historis dan normatif secara bersamaan. Pentingnya
penggunaan pendekatan ini semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil
penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam
mengkaji teks agama, seperti Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak cukup hanya
mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan
sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan
pendekatan hermeneutic
Hal tersebut
diharapkan agar produk dari studi islam di era ini dapat selalu menjawab
persoaln-persoaln yang terus berkembang dan islam akan selalu memberikan solusi
serta terwujudnya Islam yang rahmatan lil
alamin
I.
REFERENSI
Saerozi, Jurnal
At Taqaddum, IAIN Walisongo,Volume 3 nomor 1, Semarang , 2011
Baidhawy Zakiyuddin, Islamic Studies (Pendekatan
dan Metode), Yogyakarta: Insan Madani, 2011
Khoiriyah, Memahami
Metodologi Studi Islam (Suatu Konsep tentang Seluk Beluk Pemahaman Ajaran Islam
Studi Islam dan Isu-isu Kontemporer dalam Studi Islam), Yogyakarta: Teras,
2013
Rasihon Anwar dkk, Pengantar Studi Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2009
Siti Zulaiha, Pendekatan Metodologis Dan Teologis
Bagi Pengembangan Dan Peningkatan Kualitas Guru Mi, (Jurnal Pendidikan Dasar.
Vol. 1, No. 01, 2017)
Muhammad Mustahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Teras, 2011
Chanifudin, “Pendekatan Interdisipliner: Tata
Kelola Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas”, (Edukasi Islami Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. 05, Januari 2016)
Khoiruddin Nasution, Berpikir
Rasional-Ilmiah dan Pendekatan Interdisipliner dan Multidisipliner Dalam Studi
Hukum Keluarga Islam , Jurnal al-ahwal : Yogyakarta ,Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga , vol. 10, no. 1,
juni 2017 m/1438 h
Prof.
Dr. H. Khoiruddin Nasution,MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta,
Academia Tazzafa, 2009
Harun Nasution. Falsafah
Dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995
Abuddin Nata, Ilmu
Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Normatif Perenialis,
Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi,
Kebudayaan, Politik, Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2009
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Thahir, S, Lukman. Studi Islam Interdisipliner Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan
Sejarah.Yogyakarta : Qirtas , 2004
www.id.m.wikipedia.org
diakses tanggal 05 Juni 2018.
Mas’udi, “Posmodernisme
dan Polemik Keberagamaan Masyarakat Modern: Antitesis Posmodernisme Atas
Dinamika Kehidupan Modernisme” Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014
Miftah Mucharomah, Guru di Era Milenia dalam
Bingkai Rahmatan LilAlamin, Edukasia Islamika, Vol. 2, No. 2, 2017
Mahdi Ghulsyani,Filsafat-Sains Menurut al Quran .
Bandung: Mizan, 2001
Heru Dwi Wahana,“Pengaruh
Nilai-nilai Budaya Generasi Millennial dan Budaya Sekolah Terhadap Ketahanan
Individu: Studi di SMA Negeri 39, Cijantung, Jakarta”, (Jurnal Ketahanan
Nasional, XXI 1),April 2015
[1] Saerozi, Jurnal At Taqaddum, IAIN Walisongo,Volume 3 nomor 1, Semarang , 2011
[2] Baidhawy
Zakiyuddin, Islamic Studies (Pendekatan
dan Metode), Yogyakarta: Insan Madani,2011 hal 39
[3] Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam (Suatu Konsep tentang Seluk Beluk
Pemahaman Ajaran Islam Studi Islam dan Isu-isu Kontemporer dalam Studi Islam),
Yogyakarta: Teras, 2013, hal. 19-20
[4] Rasihon Anwar dkk, Pengantar Studi Islam, Bandung, Pustaka
Setia, 2009, hal 25
[5] Siti Zulaiha, Pendekatan
Metodologis Dan Teologis Bagi Pengembangan Dan Peningkatan Kualitas Guru Mi,
(Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 1, No. 01, 2017), hal 46
[6]Muhammad Mustahibun Nafis, Ilmu
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2011, hlm. 1
[7] Zakiyuddin Baidhawy, Op. Cit, hal 4
[8]Chanifudin, “Pendekatan
Interdisipliner: Tata Kelola Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas”,
(Edukasi Islami Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 05, Januari 2016), hal 1286.
[9] Khoiruddin Nasution, Berpikir Rasional-Ilmiah dan Pendekatan Interdisipliner dan
Multidisipliner Dalam Studi Hukum Keluarga Islam , Jurnal al-ahwal
: Yogyakarta ,Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga , vol. 10, no. 1, juni 2017 m/1438 h
[10] Prof. Dr. H. Khoiruddin
Nasution,MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta, Academia Tazzafa, 2009, hlm. 230-232
[11] Zakiyuddin Baidhawy, Op.Cit , hal 4
[12] Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution,MA, Op.Cit hal
230-232
[13] Ibid, hal 234
[14] M. Yatimin Abdullah, Studi
Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006, hal 290
[15] Ibid. hal 292
[16] Harun
Nasution. Falsafah Dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1995, hal 21
[17] Abuddin
Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Normatif
Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi,
Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2009, hal 203
[18] Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006,
hal 46.
[19] Thahir, S, Lukman. Studi Islam Interdisipliner Aplikasi
Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan Sejarah.Yogyakarta : Qirtas , hal 2004
[20] www.id.m.wikipedia.org diakses tanggal 05 Juni 2018.
[21] Mas’udi, “Posmodernisme
dan Polemik Keberagamaan Masyarakat Modern: Antitesis Posmodernisme Atas
Dinamika Kehidupan Modernisme” Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014, hal 250
[22] Miftah Mucharomah, Guru di
Era Milenia dalam Bingkai Rahmatan LilAlamin, (Edukasia Islamika, Vol. 2,
No. 2, 2017), hal 203
[24]Miftah Mucharomah, Op. Cit, hal 203
[25]Heru Dwi Wahana,“Pengaruh
Nilai-nilai Budaya Generasi Millennial dan Budaya Sekolah Terhadap Ketahanan
Individu: Studi di SMA Negeri 39, Cijantung, Jakarta”, (Jurnal Ketahanan
Nasional, XXI 1),April 2015: hal 18